Oleh: Thorik Arfansyah, Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang
Tangerang,Poskota,Net-Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemerintah tidak hanya berperan sebagai pengelola administrasi, tetapi juga sebagai subjek hukum publik yang terikat oleh kewajiban dan batasan hukum dalam setiap kebijakan yang diambil.
Hal ini termasuk dalam pengelolaan pajak daerah, yang menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Kota Tangerang, pajak daerah menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan berbagai program publik seperti infrastruktur, kebersihan, dan pelayanan sosial. Namun, pengelolaan pajak tidak semata soal pemungutan, melainkan juga soal pertanggungjawaban hukum dan transparansi pemerintah sebagai pemungut pajak kepada masyarakat sebagai wajib pajak.
Sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945, setiap pungutan pajak dan retribusi harus diatur dengan undang-undang.
Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang mewajibkan pemerintah daerah mengelola pajak berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, dan akuntabilitas publik.
Dengan demikian, pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena dalam menetapkan atau menggunakan hasil pajak tanpa dasar hukum yang jelas.
Sebagai subjek hukum publik, pemerintah daerah Kota Tangerang memiliki tanggung jawab hukum atas setiap kebijakan fiskal yang dikeluarkan.
Kegagalan dalam menyampaikan laporan penggunaan pajak secara transparan atau tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi dan pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State menegaskan bahwa negara berada di dalam hukum, bukan di atas hukum. Artinya, pemerintah daerah dalam hal ini Bapenda dan perangkat fiskal lainnya, tidak bisa memperlakukan pajak sebagai sumber dana semata, tetapi harus menjadikannya bagian dari kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat.
Pajak yang dipungut wajib dikembalikan dalam bentuk pelayanan publik yang nyata.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Kota Tangerang masih sering menyoroti ketidakseimbangan antara besarnya pajak yang dibayar dengan kualitas layanan publik yang diterima.
Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan prinsip transparansi fiskal dan keterbukaan informasi publik.
Pemerintah seharusnya membuka akses bagi masyarakat untuk mengetahui kemana arah alokasi pajak digunakan, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sebagai mahasiswa hukum, saya berpandangan bahwa pemerintah daerah perlu memperkuat kesadarannya sebagai subjek hukum publik yang tunduk pada prinsip legalitas dan akuntabilitas.
Pengelolaan pajak bukan hanya kewajiban administrasi, tetapi juga bentuk tanggung jawab hukum kepada masyarakat.
Pajak yang dikelola dengan benar akan menumbuhkan kepercayaan publik, sementara pajak yang disalahgunakan akan menjadi sumber ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Dengan demikian, keberhasilan fiskal daerah tidak diukur dari seberapa besar penerimaan pajaknya, tetapi dari sejauh mana pajak tersebut dikelola secara transparan, berkeadilan, dan berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Ketika pemerintah benar-benar berfungsi sebagai subjek hukum publik yang taat asas, maka sistem perpajakan di Kota Tangerang dapat menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan dan berintegritas.
Fiqri






